Oleh : DR Ichsanuddin Noorsy
Dua pekan terakhir ini saya disibukkan oleh pertemuan dengan
kalangan kampus negeri maupun swasta dan lingkungan pebisnis. Kalangan
kampus ingin mengetahui lebih dalam argumen akademik kenapa saya
menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sementara dengan pebisnis yang muncul adalah bagaimana
mengantisipasi ketidakpastian harga BBM yang diikuti dengan kenaikan
harga-harga. Secara proporsional, saya mengajukan tiga argumentasi:
Pertama, bagaimana ekonomi konstitusi mengamanatkan soal energi.Kedua,
bagaimana energi merupakan hajat hidup orang banyak. Ketiga, bagaimana
kondisi APBN-P yang sebenarnya.
Secara umum orang mengetahui bahwa Pasal 33 mengamanatkan agar
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya
bagi kemakmuran rakyat. Dari amanat ekonomi konstitusi ini,mustahil
melepas harga energi merujuk pada mekanisme pasar.
Kendati demikian,Perpres 5/2006, Blueprint BPH Migas 2004-2020,
Blueprint BP Migas 2006-2025,dan permintaan Sekjen OECD Angel Guria
pada 1 November 2010 menunjukkan bahwa Indonesia patut memenuhi
komitmennya mencabut subsidi BBM.Pencabutan subsidi BBM ini sama dengan
memberlakukan mekanisme pasar pada sektor energi. Komitmen ini tentu
saja juga sudah dituangkan lebih dulu dalam Letter of Intent 1998-1999
saat IMF mengarahkan reformasi ekonomi Indonesia.
Selanjutnya USAID, Bank Dunia, dan ADB mengaplikasikan lebih lanjut
jalan menuju liberalisasi sektor energi yang dituangkan dalam UU No
22/2001 tentang Migas. Dalam gugatan judicial review, Mahkamah
Konstitusi kemudian antara lain membatalkan Pasal 28 ayat (2): Harga
bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Persoalannya, mana yang lebih realistis dan memiliki daya desak
untuk berlaku,ekonomi konstitusi atau anjuran kuat (strong
recommendation) pihak asing yang menghendaki berlakunya mekanisme pasar
di sektor energi ? Sikap saya adalah menegakkan ekonomi konstitusi.
Soal kedua, energi sebagai hajat hidup orang banyak berhadapan
dengan fakta: di satu sisi produksi minyak mentah dan minyak olahan
yang tidak mencukupi kebutuhan domestik, di sisi lain harga minyak
internasional selalu berfluktuasi di tengah Indonesia membutuhkan impor
minyak dan menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating
exchange rate).
Sebagai hajat hidup orang banyak, energi disediakan negara kepada
warga negaranya tanpa membedakan kaya dan miskin,serta jauh dan dekat
dengan pusat produksi dengan harga terjangkau. Di era Soeharto,kesamaan
harga energi dan sembako di seluruh wilayah Nusantara adalah alat
politik untuk menyatukan Indonesia.
Di Era Reformasi dengan prinsip mekanisme pasar bebasnya, harga
komoditas apa pun bergantung pada hukum penawaran dan permintaan.
Pemerintah dilarang mendistorsi pasar.Kebijakan yang mendistorsi pasar
akan mengakibatkan pasar tidak efisien, kata pendekar-pendekar
mekanisme pasar bebas.
Public Goods
Menghadapi fakta seperti ini, saya menjawab undangan pemerintah
dengan argumen tentang kebutuhan perhitungan secara logis, rasional,
dapat diandalkan dan diaudit berapa biaya perkiraan sendiri (owner
estimate cost) atas produksi minyak Indonesia.Juga berapa biaya
perkiraan impor atas minyak yang diimpor. Dua perhitungan akan
menghasilkan harga campuran (mixing price).
Konsep ini saya sampaikan pula kepada Badan Anggaran (Banggar)
DPR-RI pada 12 Maret 2012 saat saya diundang menjadi narasumber.Anggota
DPR yang di Banggar pun menanyakan hal itu kepada pemerintah.
Menyedihkannya, pemerintah tidak pernah menjawab dengan baik.
Pemerintah hanya menyandarkan diri pada harga MOPS ditambah Alpha
(sebagai margin keuntungan yang hendak dicapai).
Padahal argumen dan analisis saya bermaksud mengubah pemahaman bahwa
energi tidak lagi sepenuhnya sebagai hajat hidup orang banyak (public
goods), lalu dengan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan nasional
justru menjadi kuasi hajat hidup orang banyak (quasi public
goods).Perubahan pemahaman ini tentu sepenuhnya tidak membenarkan bahwa
energi harus tunduk pada mekanisme pasar karena sudah menjadi
commercial goods.
Perubahan pemahaman ini pun harus diikuti dengan strategi
menghentikan dikte kartel industri minyak sehingga kedaulatan energi
nasional terwujud. Menyangkut soal APBN yang akan jebol dan pentingnya
menyelamatkan ekonomi nasional, saya mempunyai tiga alasan yakni
subsidi BBM sebesar Rp138 triliun (dibulatkan) sama dengan 1,85%
terhadap PDB.Jika termasuk subsidi untuk listrik Rp93,05 triliun,
jumlahnya menjadi 3,17% terhadap PDB.
Angka 3,17% terhadap PDB inilah yang ditakutkan oleh pemerintah
karena melanggar UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi
defisit hanya sampai 3%. Dalam APBNP 2012 dengan subsidi BBM sebesar
1,85% terhadap PDB pernah dialami pada 2006, bahkan lebih kecil
dibanding APBN 2007 (2,1% terhadap PDB) dan APBN 2008 (2,8% terhadap
PDB).
Karena menjadi 3,17% terhadap PDB saat ditambah dengan subsidi
listrik, perlu ada penggunaan energi primer unggulan pada satu daerah
untuk pembangkit listrik sekaligus merupakan aplikasi diversifikasi
energi. Pulau Jawa yang kaya dengan panas bumi harus menggunakan panas
bumi. Sumatera yang kaya dengan gas, patut menggunakan gas untuk
pembangkit listriknya.
Demikian juga dengan pulau-pulau lainnya. Bersamaan dengan
itu,konversi penggunaan premium ke gas disiapkan secara sungguh.
Janji-janji pemerintah yang pernah disampaikan saat kenaikan BBM pada
2005 dan 2008 diwujudkan. Lalu pemerintah dengan tegas menyatakan,
harga BBM tidak naik karena harga minyak dunia pun sudah turun.
Sementara pengelolaan energi nasional terus ditingkatkan dengan
mengurangi ketergantungan pada investasi asing.
Sedangkan dilihat dari sudut penerimaan dan belanja migas, APBN-P
2012 menunjukkan sekitar surplus Rp40,71 triliun. Karena ingin memenuhi
komitmen, sinyal yang dikirim ke masyarakat pun adalah kenaikan harga
BBM.Inilah yang membuat produsen mengambil keputusan sendiri yakni
menaikkan harga hingga 10–25%.
Kondisi ini menggambarkan rendahnya kualitas kebijakan pemerintah
dan rusaknya suasana saling percaya. Kini kebutuhannya adalah sikap
tegas, kepada siapa pemerintah berpihak?. (Sumber: Seputar Indonesia,
23 Mei 2012).
SUMBER :
- Seputar Indonesia, 23 Mei 2012
- Gagasan Hukum Blog
Numpang Copas bung....
ReplyDeletehttp://farislaode.blogspot.com/