Thursday 7 June 2012

PENGKHIANATAN

Oleh : Buya Syafii Maarif

Inilah Indonesia pada era dasa warsa kedua abad ke-21. Pihak eksekutif masih berbangga dengan pertumbuhan ekonomi di atas enam persen, tetapi pertanyaan kuncinya tetap saja: masihkah negara ini berpegang kepada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33? Dari uraian di atas, jawabannya sudah negatif. Dalam ungkapan lain, pengkhianatan terhadap pasal pro-rakyat ini sudah sangat terang benderang, tetapi mengapa orang masih saja tidak merasa malu untuk bersilat lidah?

Ayat 3 Pasal 33 kita kutip ulang: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Orang jangan lagi berlagak pilon, seolah-olah pasal ini masih dijadikan acuan dalam cara kita bernegara. Sangat jauh panggang dari api, Bung! Tahun 2012 ini usia kemerdekaan kita akan berada pada angka 67 tahun. Dalam bacaan saya sebagai peminat sejarah Indonesia, pengkhianatan terhadap ayat “sakti” ini sudah berlangsung tidak lama pascaproklamasi. Memang ada sementara partai politik yang memimpin pemerintahan berupaya setia kepada pasal itu, tetapi umur kabinetnya tidak mengizinkan untuk menjalankan program-programnya secara leluasa, kemudian jatuh karena sengketa politik yang berketiak ular.



Pada tahun 1966 dipelopori oleh MPRS pimpinan Jenderal A.H. Nasution dirumuskanlah diktum ini: “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Sangat manis rumusan ini. Pada tahun-tahun awal di masa peralihan itu, gema diktum itu sangat memberi harapan. Artinya Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 dipercaya akan mengawal proses pembangunan bangsa dan negara ini. Apalagi di saat inflasi telah mencapai angka 650% di tahun itu, debut pembangunan nasional penguasa baru dielu-elukan oleh semua rakyat, saya termasuk salah seorang di antara rakyat jelata itu.
Dalam tempo relatif singkat inflasi turun secara drastis, pendapatan per kepala yang semula sekitar US$70, berangsur membaik. Indonesia tidak terjerembab menjadi negara gagal.

Sekalipun terjadi perpecahan serius antara Jenderal Soeharto sebagai penguasa baru dengan A.H. Nasution yang melincinkan jalan bagi kekuasaannya yang sempat berbulan madu sekitar empat tahun, sampai awal 1980-an, pembangunan nasional dengan repelitanya tetap saja tidak terganggu banyak, karena rezim ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat yang anti komunis. Indonesia dibuka selebar-lebarnya bagi pihak pengusaha asing. Baik Nasution mau pun Soeharto dikenal sebagai kekuatan anti komunis. A.H. Nasution sampai wafat pada 6 September 2000 dalam usia 81 tahun termasuk salah seorang yang tersingkir dan kalah di panggung politik nasional, persis seperti apa yang dialami Bung Hatta sejak akhir tahun 1956.

Bedanya, Bung Hatta menyingkir dengan suka rela untuk memberikan keleluasaan kepada teman lamanya untuk memimpin negara menurut kehendak dan visinya. Inilah di antara kelemahan etnis Minang masa dulu yang tidak begitu hirau dengan kekuasaan. Ketika suasana politik dirasakan sudah tidak lagi serasi dengan perasaan halus dan akal sehat, maka dengan mudah kursi kekuasaan itu dilepaskan tanpa menggerutu. Akan halnya A.H. Nasution, disingkirkan dengan sistematis sampai jenderal ini bersama para pendukungnya menjadi tak berdaya berhadapan dengan kultur politik otoritarian neofeodalistik.

Dengan menghilangnya dua tokoh ini dari struktur kekuasaan, maka semakin lapanglah jalan bagi penguasa untuk menjalankan roda kekuasaan sekendak hati. Lawan-lawan politik satu persatu dikebiri, termasuk akhirnya Ali Sadikin, gubernur legendaris yang menghijaukan Jakarta dengan pohon-pohon rindang yang sangat berguna bagi pernafasan penduduknya. Dengan kenyataan ini, kita tak mengerti lagi apa yang dimaksud dengan slogan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Semuanya terserah kepada penguasa ketika konstitusi telah dikemas dalam retorika politik, sedangkan di alam nyata telah berlaku pengkhianatan terhadap ayat-ayatnya dengan dukungan mereka yang diuntungkan.

Saya gagal memahami jalan sejarah Indonesia sejak 1959 sampai 1998, pada saat Pancasila dan UUD 1945 tetap diakui secara resmi, bahkan selama beberapa lama di tahun 1980-an dan 1990-an telah diselenggarakan Penataran P4, tetapi kebebasan warga negara untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka sengaja dipasung dan hak-hak dasar yang lain juga mengalami nasib serupa.

Butir terakhir: apakah untuk menilai sebuah sistem kekuasaan telah berkhianat atau masih berada dalam koridor konstitusi, dalam pengalaman Indonesia modern sering saja dikaburkan dan dibiarkan mengambang. Dengan pengaburan dan pengambangan ini, para petualang politik mengais rezki dan kekuasaan dengan mengorbankan Pansacila dan UUD 1945, terutama Pasal 33 yang telah lama dibiarkan merana.
(Resonansi republika,10 April 2012)

No comments:

Post a Comment