Saturday 30 June 2012

Napak Tilas Perjalanan Sejarah Bangsa Yang Terlupakan

Republik Indonesia tidak lahir atas hadiah dengan karpet merah oleh Pemerintah Kerajaan Belanda ataupun Sekutu. Tetapi berkat perjuangan rakyat Indonesia yang disertai dengan pengorbanan jiwa, harta dan air mata. Betapa hinanya mereka yang menodai cita2 kemerdekaan bangsa Indonesia dengan korupsi, tindakan2 kekerasan dan perpecahan yang bertentengan dengan UUD 45 dan Panca Sila.

Dibawah ini catatan sejarah selagi RI masih balita yang terus dilanda teror dan serangan militer baik oleh Sekutu maupun Belanda yang tidak rela Indonesia lepas dari genggamannya.

 Kronologis Sejarah Republik Indonesia 1945 – 1949

Thursday 28 June 2012

Kita Harus Berdaulat dan Percaya Pada Kekuatan Sendiri

Oleh : Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto


Persoalan nurani, ketidaktegasan pemimpin nasional dan belum merdekanya jiwa dipandang oleh Jendral (Purn) Tyasno Sudarto sebagai akar dari berbagai masalah yang menerpa Bangsa Indonesia. 

Berikut wawancara eksklusif dengan Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto saat ditemui di kantornya, Gedung Juang 45, Cikini, Jakarta, antara lain:

Bagaimana pendapat bapak menyimak carut marutnya persoalan bangsa saat ini? 
Bangsa kita belum selesai memerdekakan jiwanya, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya sebuah seremonial. Kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat harus bisa mandiri dan percaya akan kekuatan sendiri. Perjuangan untuk memerdekakan jiwa kita masih panjang, kita jangan terus terpenjara dalam sebuah labirin negatif, seperti minder, tidak percaya diri dan berjiwa jongos. Pendiri sekolah Taman Siswa yang juga salah satu guru bangsa Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan, apabila jiwa merdeka, maka negara merdeka. Carut marutnya kondisi bangsa saat ini dikarenakan proses kemerdekaan belum selesai dan kekuatan asing tetap ingin menguasai Indonesia, diantaranya melalui ekspansi non-fisik. Jika kita lihat di zaman Orde Baru, saat itu Indonesia jelas memiliki arah dan tujuan karena adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN), namun harus diakui pula bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto dalam bidang ekonomi masih belum optimal, dan beliau akhirnya menyadari hal ini dan disusunlah Trilogi Pembangunan

Saturday 23 June 2012

NKRI, NEGARA PERJANJIAN & KESAKSIAN

Oleh : Prof. Dr. M. Din Syamsuddin


Bismillahirrahmanirrahim
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada Jum’at 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Peristiwa ini mungkin dapat menggambarkan suasana kebatinan bangsa, khususnya umat Islam, yang sedang khusyuk menunaikan ibadah puasa, sementara mereka harus berjuang menegakkan kemerdekaan.

Hal ini analog dengan suasana kebatinan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya kala Perang Badar yang juga berlangsung pada bulan suci Ramadhan. Kedua peristiwa itu adalah bentuk nyata pemaduan antara al- jihad al- asgar (jihad kecil atau perang) dan aljihad al- akbar (jihad besar yaitu menahan hawa nafsu melalui puasa).

Wednesday 20 June 2012

Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967


Keterjajahan Indonesia Semakin Jelas Hari Ini dan pengaburan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai cita-cita dan tujuan Indonesia Merdeka semakin nyata, pada dasarnya hal ini sudah menjadi bahan pembicaraan dan pemikiran-pemikiran secara terbuka dan langsung dalam seminar-seminar dan diskusi serta forum-forum kebangsaan baik dikampus maupun diluar kampus dari tahun 2008 diantaranya artikel ini yang dikeluarkan pada September 2008.

Oleh : Kwiek Kian Gie

Sunday 17 June 2012

DEMOKRASI TELAH MELUNTURKAN SEMANGAT DARI JIWA PEMBUKAAN UUD 1945

Oleh : Dodi Prasetya Ashari. SH.
Apakah istilah demokrasi ini sudah tepat di implementasikan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia? dalam pembukaan UUD’45 alenia ke-empat menyatakan bahwa negara republik indonesia berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada pancasila. dimana dalam pancasila sila ke-empat menyatakan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah (ilmu) kebijaksanaan dalam permusyawaratan (bangsa) / perwakilan (negara).

Indonesia menggunakan sistem demokrasi yang pertama kali sejak tahun 1955, dengan menggunakan UUDS’50 sebagai landasan konstitusionalnya. hal itu ditandai dengan pelaksanaan proses pemilihan umum untuk yang pertama kalinya diindonesia, pemilu ini bertujuan untuk membentuk dewan konstituante. dewan ini kemudian bertugas merumuskan kembali undang-undang dasar, untuk dijadikan sebagai landasan konstitusi negara yang baru menggantikan UUD’45. namun mengalami kegagalan, mengapa demikian?

Friday 15 June 2012

Tunduk Pada Asing Atau Pada Konstitusi?

Oleh : DR Ichsanuddin Noorsy

Dua pekan terakhir ini saya disibukkan oleh pertemuan dengan kalangan kampus negeri maupun swasta dan lingkungan pebisnis. Kalangan kampus ingin mengetahui lebih dalam argumen akademik kenapa saya menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Sementara dengan pebisnis yang muncul adalah bagaimana mengantisipasi ketidakpastian harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga-harga. Secara proporsional, saya mengajukan tiga argumentasi: Pertama, bagaimana ekonomi konstitusi mengamanatkan soal energi.Kedua, bagaimana energi merupakan hajat hidup orang banyak. Ketiga, bagaimana kondisi APBN-P yang sebenarnya.

Tuesday 12 June 2012

DOMINASI POLITIK KAUM DEMAGONG


Oleh : Prof Dr Mahfud MD

Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan  sistem politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.


Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.

Sunday 10 June 2012

MEMBANGUN KARAKTER NEGARA PANCASILA

Oleh : Jendral TNI Purnawirawan Ryamizard Ryacudu

  • PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan lahir-batin kepada kita semua se­hingga kita dapat bersama-sama berkumpul di ruangan ini untuk berdiskusi ten­tang karakter negara yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Sekolah Ting­gi Drijarkara. Semoga diskusi ini berma...nfaat bagi kita semua dan berman­faat ­faat bagi bangsa dan negara.

Beberapa hari yang lalu teman-teman saya menghadiahi saya beberapa bu­ku filsafat. Salah satu dari buku-buku itu adalah tulisan saudara Setyo Wibo­wo yang mengulas pikiran filsuf Yunani yang bernama Platon tentang kebe­ranian. Di salah satu halaman dari buku itu saya menemukan istilah “eristik” yang artinya menunjuk pada sebuah diskusi atau perdebatan yang dilakukan me­lulu untuk kenikmatan berdebat itu sendiri. Apa yang ditulis oleh saudara Setyo Wibowo tersebut kiranya pas sekali untuk memotret keadaan kita sekarang ini. Di dalam negara demokrasi setengah matang seperti Indonesia sekarang ini, hampir setiap hari kita menyaksikan debat publik mengenai banyak hal di televisi dan koran-koran yang sebagian besar hanya dilakukan untuk perdebat­an itu sendiri. Perdebatan seringkali hanya menjadi sebuah arena untuk saling mem­bantah tanpa henti dan menghasilkan “bunyi-bunyian” yang sama sekali terlepas dari kebiasaan bertindak mereka yang terlibat dalam debat. Mutu perde­batan juga seringkali tidak mendidik masyarakat. Perdebatan seringkali hanya menjadi forum untuk saling memukul dan jauh dari kearifan untuk mencari so­lusi dan kebenaran. Mudah-mudahan diskusi siang hari ini, yang dihadiri oleh para filsuf, dapat terhindar dari sindrom erestik tadi. Marilah kita upayakan agar kita dapat keluar dari kemelut yang ditimbulkan oleh demokrasi setengah ma­tang sekarang ini; dan menuju kearah demokrasi yang matang, demokrasi yang didukung oleh arete para pengembannya.

Thursday 7 June 2012

PENGKHIANATAN

Oleh : Buya Syafii Maarif

Inilah Indonesia pada era dasa warsa kedua abad ke-21. Pihak eksekutif masih berbangga dengan pertumbuhan ekonomi di atas enam persen, tetapi pertanyaan kuncinya tetap saja: masihkah negara ini berpegang kepada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33? Dari uraian di atas, jawabannya sudah negatif. Dalam ungkapan lain, pengkhianatan terhadap pasal pro-rakyat ini sudah sangat terang benderang, tetapi mengapa orang masih saja tidak merasa malu untuk bersilat lidah?

Ayat 3 Pasal 33 kita kutip ulang: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Orang jangan lagi berlagak pilon, seolah-olah pasal ini masih dijadikan acuan dalam cara kita bernegara. Sangat jauh panggang dari api, Bung! Tahun 2012 ini usia kemerdekaan kita akan berada pada angka 67 tahun. Dalam bacaan saya sebagai peminat sejarah Indonesia, pengkhianatan terhadap ayat “sakti” ini sudah berlangsung tidak lama pascaproklamasi. Memang ada sementara partai politik yang memimpin pemerintahan berupaya setia kepada pasal itu, tetapi umur kabinetnya tidak mengizinkan untuk menjalankan program-programnya secara leluasa, kemudian jatuh karena sengketa politik yang berketiak ular.

Sunday 3 June 2012

Bangsa Tunailmu

Oleh : Buya Syafii Ma'arif 

Dalam Pembukaan UUD '45 ditegaskan bahwa di antara tugas pemerintah adalah ''mencerdaskan kehidupan bangsa''. Rumusan semacam ini bukan tanpa latar belakang historis yang sarat dengan kegetiran; ia tidak muncul secara tiba-tiba. Akarnya menjalar jauh dan dalam. Sebagai bangsa bekas jajahan, para perumus UUD kita menyadari betul betapa gelapnya otak bangsa ini jika tingkat buta huruf masih sangat tinggi, yaitu pada tahun 1945 sekitar 90 persen. 
Tahun 2007, persentasenya, berkat kemerdekaan, memang sudah terbalik, yaitu sekitar 90 persen sudah melek huruf, sekalipun sebagian (besar?) belum tentu tamat SD. Dari sisi ini, betapapun masih rendahnya tingkat kecerdasan rakyat, kita wajib mensyukuri kemerdekaan bangsa ini. Tanpa kemerdekaan, kita tetap saja dalam posisi bangsa budak.

Tetapi, fokus perhatian kita kali ini bukan di situ. Yang hendak disoroti adalah kenyataan bahwa tingkat keilmuan bangsa ini secara keseluruhan masih di bawah standar. Dengan kata lain, dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan, kita jauh kedororan. Ambillah contoh Malaysia yang pada 1950-an dan 1960-an jauh tertinggal oleh Indonesia dan kita mengirim pasukan guru ke sana, sekarang memandang kita dengan sebelah mata. Apalagi dengan berjibunnya TKI/TKW kita mengadu nasib ke sana, negeri jiran ini telah menganggap kita sebagai bangsa dan negara yang tidak serius mengurus dan mengisi kemerdekaan. Kita kehilangan wibawa di depan rakyat negara itu yang sekarang sedang menikmati kemakmurannya, seperti yang sudah disinggung dalam Resonansi sebelum ini.

Saturday 2 June 2012

Berapa Lama Indonesia Dijajah?

Oleh : Buya Syafii Ma'arif

Setelah saya menggugat berdirinya Budi Utomo beberapa waktu yang lalu sebagai awal kebangkitan nasional semata-mata karena alasan sejarah, entah apa yang mendorong, dalam beberapa hari ini, pikiran saya mulai tertumpu pada rentang waktu penjajahan asing di nusantara. Tidak salah memang, jika sebagian kecil bumi nusantara telah mulai dijajah sejak pembentukan VOC tahun 1602. Tetapi, itu tidak ada hubungannya dengan Indonesia sebagai bangsa yang baru lahir tahun 1920-an.
 
Kelahiran bangsa ini bisa dipatok sejak berdirinya PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda pada 1922 atau dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928. Dengan patokan ini, sesungguhnya masa penjajahan Barat di Indonesia, terakhir oleh Belanda, hanyalah selama 20 tahun atau bahkan lebih pendek, yaitu 14 tahun, jika dihitung sejak Sumpah Pemuda sampai 1942, saat Jepang berhasil dengan cemerlang mengusir Belanda dari negeri ini. Adapun situasi mental terjajah usianya bisa berabad-abad.

Sebutan nusantara telah muncul jauh sebelum terbentuknya Indonesia sebagai bangsa dan masih kita gunakan sampai hari ini. Bahkan, ada yang mengusulkan nama Republik Indonesia diganti dengan Republik Nusantara. Tetapi, itu mengandung implikasi yang cukup besar dalam menghitung era penjajahan. Saya sendiri lebih cenderung untuk tetap mengabadikan nama Indonesia sebab beban mental kita akan jauh lebih ringan bila dikaitkan dengan sistem penjajahan Barat. Dengan menyimpulkan bahwa Indonesia ternyata tidak sampai seperempat abad dijajah asing, itu sudah terhitung penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun, segala beban sejarah sebagai bangsa terjajah dapat kita halau jauh-jauh. Bukan mengada-ada, tetapi berdasarkan pijakan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa

Tulisan : Buya Syafii Ma'arif
   

       Tanggal 17 Agustus 2008, genaplah 63 tahun usia kemerdekaan bangsa, sesuatu yang sangat wajib kita syukuri. Bersyukur bermakna menggunakan seluruh pemberian Allah kepada kita untuk tujuan apa saja yang diridhai-Nya, di samping membaca alhamdulillah. Janji Alquran: ''Sungguh jika kamu bersyukur, pasti [nikmat itu] akan Aku tambah untuk kamu; dan jika kamu ingkar [nikmat], sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih.'' (Ibrahim: 7). Janji Allah ini berlaku untuk semua zaman, di semua tempat, termasuk di Indonesia. Detik kemerdekaan adalah momen turunnya nikmat yang luar biasa artinya bagi sebuah bangsa terjajah yang penuh kehinaan. Dalam perspektif ini, jasa para pejuang yang telah mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan tidak terhingga, saking besarnya.
Sekalipun masih kecewa terhadap capaian janji-janji kemerdekaan, saya berupaya untuk berpikir positif dalam arti plusnya lebih banyak dibandingkan minusnya. Adalah karena kemerdekaan, sebagian anak-anak pintar dari berbagai pelosok tersuruk telah mengenyam hasil pendidikan, bahkan ada yang sampai ke puncak. Berasal dari orang tua yang boleh jadi buta huruf, tidak mustahil anaknya telah melanglang buana ke berbagai penjuru bumi untuk mencerahkan dan mencerdaskan diri. Jumlah mereka dari hari ke hari semakin bertambah, bergantung pada kesungguhan anak udik itu mengejar cita-cita pendidikan.
     Yang sedikit mencengangkan adalah kenyataan bahwa sebagian otak desa yang kurang gizi itu tidak kalah bersaing dengan mereka yang kelebihan gizi di kota plus fasilitas yang lebih dari cukup. Karena kemerdekaan bangsalah, anak-anak yang kurang gizi itu berhasil melibatkan diri dalam gerak mobilitas sosial yang kencang, sekalipun kadang-kadang terasa amatlah keras. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat membayangkan berlakunya mobilitas sosial itu. Pendidikanlah yang paling bertanggung jawab untuk proses pencerdasan ini, sekalipun pada masa lampau yang belum lama, posisi guru sungguh menyedihkan. Sekarang sudah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga keperluan hidup sehari-hari.

Hiruk Pikuk Negri Ku


Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Saudara-saudara beserta adek-adek ku Mahasiswa dan Pemuda.
Salam perjuangan sebangsa dan setanah air.
            Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan BANGSA Indonesia, mungkin tidak satu orang pun yang menyangka bahwa akan ada suatu periode yang bernama Reformasi seperti saat ini, dan mungkin sangatlah terlalu jauh dari jangkauan prediksi waktu itu bahwa Negara dan bangsa yang sudah merdeka ini akan kembali berada dalam “PENJAJAHAN” dalam arti kwalitas yang sangat menyakitkan.

            Sebelum kita masuk dalam penjelasan “PENJAJAHAN” rasanya saya perlu menjelaskan sesuatu kepada adek-adek dan saudara ku sekalian. Bahwa kita sebagai Negara merdeka berada dalam situasi “tawanan”, dimana setelah kehancuran Uni Sovyet maka Negara-negara blok barat terutama Amerika Serikat menjadi penguasa dunia. Pinjaman luar negeri, yang dipelesetkan sebagai bantuan luar negeri telah menciptakan nuansa serta nilai-nilai baru di kalangan pejabat Negara, kalangan pengusaha, kalangan politisi, kalangan ilmuwan, dan sebagainya. Salah satu akibat langsung maupun tidak langsung dari pengaruh Blok Barat yang kapitalistik itu adalah terciptanya Golongan Ekonomi Lemah dan Golongan Ekonomi Kuat. Kondisi ini berpengaruh kuat terhadap keadaan “tertawannya” Kemerdekaan Indonesia karena kelanjutannya adalah alam KKN merajalela. Para parvenue, tukang catut, kaum hipokrit, agen modal asing, agen intelejen ekonomi asing bergemah ripah loh jinawi di atas penderitaan rakyat mayoritas.