Sunday, 10 June 2012

MEMBANGUN KARAKTER NEGARA PANCASILA

Oleh : Jendral TNI Purnawirawan Ryamizard Ryacudu

  • PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan lahir-batin kepada kita semua se­hingga kita dapat bersama-sama berkumpul di ruangan ini untuk berdiskusi ten­tang karakter negara yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Sekolah Ting­gi Drijarkara. Semoga diskusi ini berma...nfaat bagi kita semua dan berman­faat ­faat bagi bangsa dan negara.

Beberapa hari yang lalu teman-teman saya menghadiahi saya beberapa bu­ku filsafat. Salah satu dari buku-buku itu adalah tulisan saudara Setyo Wibo­wo yang mengulas pikiran filsuf Yunani yang bernama Platon tentang kebe­ranian. Di salah satu halaman dari buku itu saya menemukan istilah “eristik” yang artinya menunjuk pada sebuah diskusi atau perdebatan yang dilakukan me­lulu untuk kenikmatan berdebat itu sendiri. Apa yang ditulis oleh saudara Setyo Wibowo tersebut kiranya pas sekali untuk memotret keadaan kita sekarang ini. Di dalam negara demokrasi setengah matang seperti Indonesia sekarang ini, hampir setiap hari kita menyaksikan debat publik mengenai banyak hal di televisi dan koran-koran yang sebagian besar hanya dilakukan untuk perdebat­an itu sendiri. Perdebatan seringkali hanya menjadi sebuah arena untuk saling mem­bantah tanpa henti dan menghasilkan “bunyi-bunyian” yang sama sekali terlepas dari kebiasaan bertindak mereka yang terlibat dalam debat. Mutu perde­batan juga seringkali tidak mendidik masyarakat. Perdebatan seringkali hanya menjadi forum untuk saling memukul dan jauh dari kearifan untuk mencari so­lusi dan kebenaran. Mudah-mudahan diskusi siang hari ini, yang dihadiri oleh para filsuf, dapat terhindar dari sindrom erestik tadi. Marilah kita upayakan agar kita dapat keluar dari kemelut yang ditimbulkan oleh demokrasi setengah ma­tang sekarang ini; dan menuju kearah demokrasi yang matang, demokrasi yang didukung oleh arete para pengembannya.

  • NEGARA PANCASILA

Term of Reference diskusi yang saya terima bersama-sama dengan un­dangan untuk menjadi salah satu nara-sumber dalam diskusi siang hari ini, de­ngan cukup jelas mengatakan bahwa NKRI adalah negara yang dibentuk dengan sengaja oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia lahir lebih dulu, baru kemu­di­an NKRI. Bangsa Indonesia dengan sengaja membentuk NKRI untuk (1) melin­dungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahte­raan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut serta melaksana­kan ketertiban dunia. Negara terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semuanya dengan gamblang dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945.

Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa NKRI yang dibentuk oleh bangsa Indenesia itu adalah bukan negara yang dibentuk tanpa tujuan. NKRI tidak dibentuk begitu saja yang tujuannya diserahkan kepada penyelenggara ke­kuasaan negara yang terpilih; atau dengan kata lain, penyelenggara kekuasaan negara tidak dipilih dengan “mandat kosong” untuk dengan semaunya menentu­kan arah kemudi negara.

Dalam konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945, Pancasila adalah dasar negara yang menjadi pokok kaidah fundamental negara dan menjadi norma ter­tinggi dalam hirarkhi sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Panca­sila merupakan norma dasar yang menciptakan semua norma-norma yang lebih ren­dah dalam sistem norma hukum. Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma hukum yang ada di bawahnya itu.

Dalam konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945 itu Pancasila diwujud­kan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan negara (konstitusi, undang-undang negara, peraturan pemerintah, dan seterusnya) serta terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari pokok-pokok pikiran ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila ter­wujud dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, yaitu

1. Negara Pancasila akan terwujud apabila kebijakan negara (konstitusi, undang-undang negara, peraturan-peraturan pemerintah, dan seterus­nya) yang diterbitkan sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

2. Praktek-praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne­ga­ra menjalankan dengan benar semua kebijakan negara yang sudah se­suai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut

Memang benar kalau perwujudan Pancasila itu akan menjadi lebih sempur­na kalau didukung oleh moral individu-individu warga negara yang sesuai de­ngan nilai-nilai Pancasila. Tetapi yang harus selalu diingat adalah bahwa yang primer Pancasila itu adalah dasar negara, Pancasila itu adalah “moral negara” yang seharusnya mengatur perilaku negara. Kalau Pancasila juga dikehendaki menjadi “kaidah moral individual” tiap-tiap warga negara itu sifatnya sekunder. Pertama-tama perhatian kita haruslah ditujukan kepada yang primer, baru kemu­dian kepada yang sekunder. Kritik kita pun pertama-tama haruslah ditujukan kepada yang primer, bukan kepada yang sekunder. Ilustrasi berikut dengan se­derhana dapat memberikan gambaran mengapa perhatian kita pertama-tama harus kita tujukan kepada yang primer, bukan kepada yang sekunder: Kalau a­nak saya tidak mengerti patriotisme, sebagai seorang prajurit hati saya memang sangat sedih; tetapi bangsa ini tidak akan runtuh hanya karena ketidak­mengertian anak saya. Tetapi kalau yang tidak mengerti itu adalah negara maka dampaknya kepada nasib bangsa akan memilukan. Bangsa ini akan menjadi bu­dak dan bulan-bulanan bangsa-bangsa lain di tengah-tengah arus globalisasi yang mendera.

Pertanyaan berikutnya yang kemudian muncul adalah: Lalu di mana posi­si dan kewajiban warga negara dalam mewujudkan Pancasila? Kewajiban pokok­nya adalah menjalankan kebijakan negara yang berupa peraturan-peraturan ne­gara. Apabila seorang warga negara dengan benar sudah menjalankan peraturan-negara yang benar, yaitu peraturan-peraturan negara yang memang sudah sesuai dengan Pan­casila, maka dengan melaksanakan peraturan-peraturan itu warga negara ter­sebut dengan sendirinya sudah melaksanakan Pancasila. Persoalan baru tim­bul ketika warga negara tersebut harus melaksanakan peraturan-peraturan ne­gara yang tidak benar, yaitu peraturan-peraturan negara yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kalau ia tetap melaksanakan peraturan-peraturan negara yang bertentangan dengan Pancasila tersebut sama artinya dengan ikut mengubur Pancasila. Tetapi kalau ia tidak melaksanakan atau bahkan melawan peraturan-peraturan yang berten­tangan dengan Pancasila tersebut sama artinya dengan menjadi warga negara yang tidak baik. Dihadapkan pada persoalan seperti ini, seorang warga negara yang kritis akan menghadapi dilema. Manakah yang harus diturut? Menjadi warga negara yang baik tapi ikut mengkhianati Pancasila ataukah menjadi pe­meluk teguh Pancasila tapi menjadi warga negara yang tidak baik. Jawaban atas “teka-teki” ini saya serahkan kepada para filsuf di STF Drijarkara ini.

  • KARAKTER NEGARA PANCASILA

Kalau seseorang harus mengambil keputusan dalam situasi sulit atau menghadapi dilema seperti war­ga negara yang harus memilih “tetap menjadi Pancasilais tapi melawan peraturan negara ataukah tetap menjalankan peraturan negara yang bertentangan dengan Pancasila,” maka pilihannya itu sangat ditentukan pertama-tama oleh karakter yang dimiliki oleh orang tersebut, bukan oleh pengetahuan atau keahlian teknisnya.

Demikian juga negara. Kalau suatu negara harus mengambil keputusan da­­lam situasi sulit atau situasi dilematis maka pilihan keputusannya juga sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki oleh negara tersebut. Negara dapat me­milih jalan yang gampang bagi pemerintah tapi menyulitkan masyarakat atau sebagian masyarakat; dan negara juga dapat memilih jalan yang sulit dan terjal yang harus dilalui pemerintah tapi dirasakan adil dan menenangkan masyarakat. Apakah negara akan memangkas subsidi BBM untuk merespons melambung­nya harga minyak dunia dan meminta rakyatnya untuk “sedikit menderita” atau negara akan mencari jalan lain yang sulit dan mungkin juga membahayakan diri­nya untuk mempertahankan kesejahteraan rakyatnya. Keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh karakter negara saat ini, bukan semata-mata atas hitung­an angka-angka di atas kertas.

Seorang kapten kapal, ketika melihat kapalnya dalam keadaan bahaya dan mulai tenggelam, yang harus dipikirkan lebih dulu adalah keselamatan penum-pang, baru kenudian keselamatan crew, dan yang terakhir keselamatan dirinya. Ketika kapal berada dalam keadaan sulit, seorang kapten kapal tidak pernah menghitung-hitung untung-rugi untuk keselamatan penumpang-penumpangnya. Sebagai orang terakhir yang keluar dari kapal, mungkin ia akan menghadapi bahaya yang lebih besar dari lainnya. Etos kerja seorang kapten kapal inilah yang seharusnya menjadi etos kerja ne­gara. Ketika negara harus mengambil ke­putusan dalam situasi sulit atau situasi dilematis, yang pertama kali harus dipi­kirkan adalah bagaimana meringankan beban rakyat meskipun ada resiko yang besar yang harus dihadapi pemerintah. Pemerintah jangan melulu mencari jalan mudah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan negara dan membebankan bagian yang terberat kepada rakyatnya.

Di depan sudah saya katakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara ha­rus­lah me­­ngatur “moral negara,” mengatur perilaku negara; dan oleh karenanya harus­lah tercermin dalam karakter negara. Dalam praktek sehari-hari, karakter ne­gara akan terungkap pada semangat dan kebiasaan bertindak penyelenggara ke­kuasaan negara dalam membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan negara. Kalau semangat dan kebiasaan bertindak sehari-hari penye­lenggara ke­kuasaan negara adalah semangat dan kebiasaan bertindak untuk me­manfaatkan negara sebagai alat untuk memperkaya diri dan memupuk kekuasa­an kelompoknya sendiri –seperti yang hampir tiap hari diungkap televisi dan me­dia-massa lainnya, jelas itu tidak mencerminkan karakter negara Pancasila, Rakyat menyangsikan kejujuran negara. Kalau penyelenggara kekuasaan negara juga selalu mencari jalan mudah bagi dirinya sendiri dan membebankan yang berat kepada rakyat, itu pun tidak mencerminkan karakter negara Pancasila. Rakyat menyangsikan ketabahan dan keuletan negara dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Rakyat juga menyang­si­kan keberanian negara untuk selalu setia kepada Pancasila dan konstitusi negara dalam menghadapi tekanan-tekanan politik domestik maupun global. Karena rakyat hanya melihat dan merasakan kehadiran negara dari apa yang diker­jakan oleh pemerintah dan penyelenggara kekuasaan negara lainnya, maka rakyat pun bisa sampai pada ke­simpulan: negara tidak lagi memiliki karakter.

Di bawah tekanan globalisasi sekarang ini, lebih-lebih dengan keterpu­rukan perekonomian Indonesia dalam krisis moneter 1997-98, sangat sulit bagi negara untuk menegakkan kedaulatannya. Para penyelenggara kekuasaan negara nampaknya sudah tidak sanggup lagi untuk mengoperasikan Pancasila dalam pembuatan maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Pembuatan kebijakan negara sekarang ini lebih merujuk pada keinginan dan tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) serta negara-negara adidaya; dan pelaksanaan-nya mengikuti keinginan dan kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam kekuasaan negara. Dan sekarang, meskipun reformasi sudah berlangsung lebih dari tiga belas tahun, Indonesia masih belum dapat mewujudkan kedaulatannya. Hanya negara yang mempunyai karakter yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan seperti ini.

Untuk membangun karakter negara Pancasila, paling tidak ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, dengan mengajukan “permohonan” kepada para penyelenggara kekuasaan negara untuk dengan sukarela mengubah dan memba­ngun inner qualities atau standar-standar moral yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya serta menghindari kebiasaan bertindak yang memperalat atau memanipulasi negara untuk kepentingannya sendiri. Kedua, dapat dilakukan dengan mengerahkan kekuatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pembuatan dan pelak­sanaan peraturan perundang-undangan yang baru serta meninjau kembali pera­turan perundang-undangan yang sudah diberlakukan tetapi bertentangan de­ngan nilai-nilai Pancasila. Apabila negara bekerja di bawah pengawasan ketat rakyat­nya, ini akan mendorong negara untuk memperbaiki dan mengembangkan inner qualities-­nya, mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Karakter negara akan terbangun ketika kontrol ma­syarakat berhasil “memaksa” penyelenggara kekuasaan negara mengubah dan mengembangkan inner qualities-nya.

  • PENUTUP

Sebagai penutup saya ingin menegaskan bahwa membangun karakter ne­gara adalah bagian dari membangun diri kita sendiri; dan oleh karenanya mem­bangun karakter negara adalah menjadi tugas kita semuanya. Founding Fathers negara kita telah dengan susah payah membidani lahirnya Negara Kesatuan Re­publik Indonesia, dan sekarang menjadi tugas kita untuk merawatnya. Suatu bangsa akan menjadi besar dan kuat bukan oleh bangsa lain, demikian juga lemah dan hancurnya juga bukan oleh bangsa lain, melainkan oleh bangsa itu sendiri. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang di­berikan kepada saya untuk ikut-ikut urun rembug dalam diskusi siang hari ini.

Jakarta, 26 Maret 2012

(Disampaikan dalam Forum Diskusi di STF Driyarkara, 26/3/2012)



No comments:

Post a Comment