Tulisan : Buya Syafii Ma'arif
Tanggal 17 Agustus 2008, genaplah 63 tahun usia kemerdekaan bangsa, sesuatu yang sangat wajib kita syukuri. Bersyukur bermakna menggunakan seluruh pemberian Allah kepada kita untuk tujuan apa saja yang diridhai-Nya, di samping membaca alhamdulillah. Janji Alquran: ''Sungguh jika kamu bersyukur, pasti [nikmat itu] akan Aku tambah untuk kamu; dan jika kamu ingkar [nikmat], sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih.'' (Ibrahim: 7). Janji Allah ini berlaku untuk semua zaman, di semua tempat, termasuk di Indonesia. Detik kemerdekaan adalah momen turunnya nikmat yang luar biasa artinya bagi sebuah bangsa terjajah yang penuh kehinaan. Dalam perspektif ini, jasa para pejuang yang telah mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan tidak terhingga, saking besarnya.
Tanggal 17 Agustus 2008, genaplah 63 tahun usia kemerdekaan bangsa, sesuatu yang sangat wajib kita syukuri. Bersyukur bermakna menggunakan seluruh pemberian Allah kepada kita untuk tujuan apa saja yang diridhai-Nya, di samping membaca alhamdulillah. Janji Alquran: ''Sungguh jika kamu bersyukur, pasti [nikmat itu] akan Aku tambah untuk kamu; dan jika kamu ingkar [nikmat], sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih.'' (Ibrahim: 7). Janji Allah ini berlaku untuk semua zaman, di semua tempat, termasuk di Indonesia. Detik kemerdekaan adalah momen turunnya nikmat yang luar biasa artinya bagi sebuah bangsa terjajah yang penuh kehinaan. Dalam perspektif ini, jasa para pejuang yang telah mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan tidak terhingga, saking besarnya.
Sekalipun masih kecewa terhadap capaian janji-janji kemerdekaan,
saya berupaya untuk berpikir positif dalam arti plusnya lebih banyak
dibandingkan minusnya. Adalah karena kemerdekaan, sebagian anak-anak
pintar dari berbagai pelosok tersuruk telah mengenyam hasil pendidikan,
bahkan ada yang sampai ke puncak. Berasal dari orang tua yang boleh
jadi buta huruf, tidak mustahil anaknya telah melanglang buana ke
berbagai penjuru bumi untuk mencerahkan dan mencerdaskan diri. Jumlah
mereka dari hari ke hari semakin bertambah, bergantung pada kesungguhan
anak udik itu mengejar cita-cita pendidikan.
Yang sedikit mencengangkan adalah kenyataan bahwa sebagian otak desa
yang kurang gizi itu tidak kalah bersaing dengan mereka yang kelebihan
gizi di kota plus fasilitas yang lebih dari cukup. Karena kemerdekaan
bangsalah, anak-anak yang kurang gizi itu berhasil melibatkan diri
dalam gerak mobilitas sosial yang kencang, sekalipun kadang-kadang
terasa amatlah keras. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat membayangkan
berlakunya mobilitas sosial itu. Pendidikanlah yang paling bertanggung
jawab untuk proses pencerdasan ini, sekalipun pada masa lampau yang
belum lama, posisi guru sungguh menyedihkan. Sekarang sudah semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya harga keperluan hidup sehari-hari.
Itu sebuah plus dari sisi pendidikan tanpa membandingkannya dengan
negara lain yang jauh lebih maju. Plus yang lain terlihat dalam sarana
dan prasarana transportasi: jalan-jalan dan kendaraan. Saya tidak punya
data tentang pertambahan ruas jalan sejak kemerdekaan, tetapi jelas
panjangnya sudah berlipat-lipat. Jumlah kendaraan jangan ditanya lagi.
Daerah pedesaan yang di zaman penjajahan tidak pernah disentuh
kendaraan bermesin, kondisinya sudah berubah total secara dahsyat. Saya
masih ingat di tahun 1960-an di daerah Surakarta, misalnya, pemilik
sepeda motor amatlah terbatas. Sekarang jangankan di daerah perkotaan,
di pelosok-pelosok yang dulunya terpencil, sekarang sepeda motor
berkeliaran tak terhitung dengan segala polusi suara dan asap yang
dapat mengganggu kesehatan.
Plus berikutnya tampak pada dunia kesehatan. Pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) lengkap dengan dokternya telah lama memasuki
kawasan yang dulunya tak terjangkau. Banyak di antara puskesmas itu
yang mentereng, dibangun di tempat-tempat strategis, demi pelayanan
negara terhadap rakyat banyak. Terakhir, diluncurkan pula program untuk
menyantuni keluarga miskin (gakin) dengan pengobatan cuma-cuma.
Bukankah ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri? Plus yang lain masih
banyak.
Sekarang di mana minusnya? Minus pertama terletak pada kenyataan
jumlah rakyat miskin masih sangat tinggi, hampir separuh penduduk
Indonesia yang sekarang sudah mencapai sekitar 240 juta, dibandingkan
dengan hanya 70 juta saat lonceng kemerdekaan dipukul nyaring, 63 tahun
silam. Masalah kemiskinan ini jelas terkait secara organik dengan
ketidakmampuan negara melaksanakan UUD yang proorang miskin. Dalam
pelaksanaannya, yang terjadi adalah UUD disulap menjadi proorang kaya.
Maka, akibatnya berdirilah dengan amat nyata bangunan piramida
kaya-miskin dengan perbedaan yang tajam sekali. Di pucuk piramida,
bertahtalah segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per
bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan
yang luas, tanpa penghasilan.
Minus berikutnya adalah semakin mengguritanya laku korupsi di
kalangan elite birokrasi dan perusahaan dari tingkat atas sampai
tingkat bawah, plus kerusakan lingkungan yang parah. Kondisinya sudah
sangat berbahaya, tetapi negara masih gagal menanggulanginya.Minus
ketiga terlihat di kancah politik yang sekarang sedang dijadikan mata
pencarian, karena lapangan kerja masih sangat sempit. Anda bisa
memperkirakan dampak buruknya yang nyata saat politik telah menjadi
ajang rebutan mengais rezeki, persis seperti makhluk lain berebut
tulang. Minus yang lain, bisa Anda jejerkan sendiri. Semua minus ini
berhulu pada rapuhnya bangunan kultur kita. Tetapi, Indonesia adalah
negeri dan bangsa yang wajib kita bela.
Sumber :
- www.republika.co.id
- maarifinstitute
No comments:
Post a Comment