Oleh : Prof
Dr Mahfud MD
Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua
penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor
demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik
demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan
bahwa demokrasi merupakan sistem politikyang"berbahaya" dan
tidak praktis.
Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang
dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan
dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan
(pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem
demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem
diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya
tetap."seolah-olah demokrasi.
Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan
memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya.
Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau
sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya
sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Di Indonesia, belakangan ini, banyak demagog seperti
yang ditakutkan oleh Aristoteles itu. Hampir dap hari rakyat melihat demagog,
politisi perseorangan ataupun institusi, yang membohongi rakyat Ada tokoh
politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal
pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.
Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan
bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi
keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi
padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin
membobol keuangan negara.
Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api,
jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara
akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu
melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk
kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh
Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi.
Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok. Bahkan,
jika ukurannya adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, cenderung dapat dikatakan gagal.
Mengapa? Karena arena politik Id calebih banyak
dikuasai oleh para demagog. Lembaga-lembaga politik kita sekarang ini tampaknya
lebih didominasi oleh para demagog yang biasanya tampil sebagai elite politik
bukan karena kapabilitasnya melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya.
Bukan rahasia lagi, banyak pimpinan politik di parpol
di eksekutif, dan di pusat ataupun di daerah, yang meraih kedudukannya melalui
premanisme dan kolusi politik Segepok uang sebagai hadiah mentah, biaya tiket,
dan uang saku biasa diberikan bagi mereka yang mau mendukung sang
"demagog". Sebaliknya ancaman alienasi, pencopotan, dan teror
diberondongkan terhadap mereka yang tak mau mendukung sang demagog.
Untuk memimpin parpol, para demagog yang biasanya
pandai berpura-pura itu tak jarang mendapatkan uang untuk membeli kemenangannya
melalui sponsor dari kekuatan di luar partainya. Ada yang dari pengusaha hitam
yang mengharapkan dukungan untuk satu proyek atau memutihkan catatan hitamnya.
Ada yang dari kekuatan politik lain, termasuk dari penguasa, yang meminta
komitmen dukungan dengan kompensasi politik tertentu; dan ada yang dari
kekuatan lain yang ingin memanfaatkanya sebagai kendaraan politik.
Politik demagogi ini menyebabkan parpol dan lembaga
politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sana, jabatan-jabatan politik dan
kebijakan publik ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi
memikirkan nasib rakyat.
Apakah dominasi demagog sebagai keniscayaan di dalam
demokrasi? Tentu tidak Bahwa di dalam demokrasi selalu ada demagog, sudah pasti
ya. Tapi dalam kenyataanya demagog bisa tidak dominan. Setidaknya ini bisa
dilihat dari dunia perpolitikan kita sejak awal kemerdekaan sampai tahun
1950-an. Para elite politik kita pada masa itu lebih didominasi oleh
orang-rorang yang penuh integritas memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kita telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar
seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I J. Kasimo, Mohammad Roem dan
Wilopo yang tampu ke tampukkepemimpinan bukan karena premanisme, suap, atau
kolusi, melainkan karena diminta dan didorong dari bawah; karena integritas dan
keikhlasannya. Masa itu memang ada demagog, tapi tak bisa mendominasi bahkan
teralienasi dari percaturan politik, Sebaliknya sekarang ini demagoglahyang
dominan.
Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau
agar dunia politik kita tidak didominasi oleh para demagog seperti sekarang
ini. Berdasar fakta sejarah sampai tahun 1950-an, dulu kita bisa menampilkan
elite-elite yang berintegritas dan ikhlas dalam berjuang untuk rakyat: Kalau
para demagog masih mengangkangi kita seperti sekarang, jangan harap negara akan
beres dan jangan bermimpi reformasi ada gunanya.
No comments:
Post a Comment