PULAU SULAWESI

MAKLUMAT MAHASISWA BERSATU UNTUK RAKYAT

MENGGUGAT SBY-BOEDIONO UNTUK MUNDUR DARI JABATANNYA DAN HARUS DI ADILI SEADIL ADIL NYA DAN MENCABUT MANDAT DPR MPR

SULAWESI SELATAN

Isu daerah :
1.   Kasus penembakan warga oleh kepolisisan karena persoalan ingin membubarkan balapan liar.
2.   APBD 400 juta untuk RS. Bersalin dan ternyata dana hilang.
3.   Konflik agraria yang dikuasai oleh pihak asing diselesaikan dengan jalan penembakan massa aksi.
4.   Lahan petani dijadikan perumahan real estate yang dampak nya masyarakat makasar kekurangan stok beras.
5.   Kasus penggusuran rakyat miskin kota secara paksa yang melibatkan preman dari si investor.
6.   RUU PT yang disepakati mengharamkan pendidikan bagi rakyat miskin.
7.   Pemecatan mahasiswa UNM tanpa alasan yang jelas.

SULAWESI TENGGARA

SITUASI DAERAH DAN NASIONAL BANGSA INDONESIA:

Bangsa Indonesia memiliki 33 propinsi, salah satunya adalah Propinsi Sulawesi Tenggara. Kasus perkasus sampai saat ini pemerintah kota dan propinsi tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Kasus agraria, pelanggaran HAM, kasus korupsi dilakukan secara horizontal maupun vertikal, kasus tersebut hingga saat ini tidak ada tindak soluktif dalam keberpihakan pada rakyat kecil.
Lahirnya pelanggaran - pelanggaran agraria, HAM, korupsi yang terjadi secara berkala seiring waktu berlalu. Sebut saja kasus pulau limo kab.kaluku propinsi Sulawesi Tenggara mulai tahun 2008 hingga sampai sekarang belum terselesaikan dimana bupati kaluku mengeluarkan surat izin kuasa pertambangan biji nikel yang bernomor 146/2007/tertanggal 28 juni 2008 tercatat dalam area kawasan koservasi tanah wisata alam laut di pulau oleh PT.INTIJAYA dimana surat ini meneragkan tanpa persetujuan mentri Kelautan.
Kasus –kasus  yang terkait korupsi dilakukan oleh gubernur sulawesi tenggara terkait pengadaan mobil dinas. Walikota baubau terkait membuka jalan di tengah hutan lindung sebagai jalur produksi, bupati kalukuterkait kasus pulau limo, walikota kendari terkait. Pengurukan lumpur tuluk, selain itu pelanggaran HAM.kontu di raha dimana perampasan tanah oleh pemerintah setempat.
Selain itu adanya konflik agraria, dimana perampasan tanah adat  di konawe utara dilakukan PT SILABUS, kasus penggusuran tanah warga di tenggara konawe selatan oleh PT. IFISDECO, ganti rugi lahan yang belum terselesaikan di pousu jaya karena penggunaan markas brimob dan masih banyak kasus  yang tak sempat kami uraikan tuntas disini.
Selain itu pula situasi daerah tidak luput terlepas kaitannya dengan nasional, situasi nasional dimana pelanggaran dan penyelesaian kasus –kasus yang ada dari sabang sampai merauke belum tuntas. Sebut saja kasus korupsi seperti century, kasus gayus tambunan, nazarudin mengenai wisma atlet, belum transparan dalam penyelesaiannya. Pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini lebih –lebih tidak terselesaikan baik oleh pemerintah saat ini. Selain itu pula kasus agraria seperti mesuji terabaikan begitu saja oleh pemerintah kita saat ini. Meluasnya paham kapitalis dan korporasi membuat rezim SBY – BUDIONO sebagai otak – otak kapitalis asing. Kemiskinan dimana – mana, TKW tertindas, upaya pekerjaan kurang, pengangguran dimana – mana membuat kemiskinan bertambah tiap waktunya.
Dari berbagai kasus tersebut terjadi disebabkan karena lemahnya pemerintah menyelesaikan kasus – kasus yang ada, pemerintah SBY tidak memperdulikan keadaan  dan melakukan tindakan tidak manusiawi, dan hanya untuk kepentingan pribadinya. Kasus korupsi agraria dan pelanggaran HAM baik daerah maupun nasional yang masih hangat diperdebatkan tidak ada respon positif dari pihak yang berwenang atau aparat kepolisian...


SULAWESI TENGAH

SITUASI NASIONAL DAN SITUASI DAERAH SULTENG
    (ALASAN-ALASAN PEMERINTAHAN SBY HARUS DITUMBANGKAN)[1]
Beberapa tahun terakhir, di Indonesia, ekspansi modal mengambil bentuk neoliberalisme demi menghapuskan hambatan pasar dan investasi. Berbagai produk kebijakan yang mengacu pada pemotongan (penghapusan) subsidi, privatisasi/swastanisasi, serta liberalisasi pasar dan investasi. Utang dari lembaga-lembaga donor seperti IMF, World Bank, ADB, merupakan instrumen utama untuk memaksakan resep kebijakan neoliberal kepada pemerintah. Di sisi lain, utang juga mengandung perampasan nilai melalui pembayaran bunga utang oleh negara kepada lembaga donor.
Dengan potensi 230 juta penduduk (keempat terbesar di dunia), Indonesia menyediakan barisan cadangan tenaga kerja dan  perluasan pasar. Bersamaan dengan makin sepinya pasar-pasar tradisional, bisnis ritel mengalami pertumbuhan pesat—bisnis yang sebenarnya merupakan bentuk distribusi (impor) barang[2]. Di sisi lain, ekonomi Indonesia mengalami deindustrialisasi besar-besar karena kalah bersaing dengan barang-barang impor, terutama menimpa sektor tekstil/garmen serta makanan dan minuman[3] dengan menyisakan industri logam yang masih bisa bertahan karena memproduksi (dan merakit) suku cadang kendaraan bermotor, alat elektronik dan mesin lainnya.[4] Deindustrialisasi menciptakan PHK besar-besaran, yang selanjutnya mengurangi daya beli.[5]
Selain pasar, adalah investasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang dibutuhkan oleh korporasi. Investasi di lapangan SDA, terutama di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Indonesia merupakan penghasil dan eksportir kelapa sawit (terbesar di dunia), kakao (produsen terbesar kedua di dunia), timah (produsen terbesar kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar ke empat di dunia) dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia), lainnya seperti besi baja, tembaga, karet dan perikanan. Cadangan energi sangat besar seperti misalnya batubara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi dan makanan-minuman.[6] 
Perluasan modal (investasi) di lapangan sumber daya alam untuk menguasai sumber-sumber bahan baku produksi telah mengkonsentrasikan lahan dalam bentuk estate-estate[7] (tanah-tanah berukuran luas) yang dimiliki oleh korporasi. Penguasaan lahan ini dilegalkan oleh negara dengan mengeluarkan izin berupa Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP) di sektor pertambangan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sektor kehutanan dan Hak Guna Usaha (HGU) di sektor perkebunan.[8]
Proses kapitalisasi di Sulawesi Tengah secara intensif telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini, menjadi semakin masif sejak adanya kebijakan otonomi daerah, dan semakin dipermantap sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No. 7 tahun 2008 tentang Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah. Poin-poin utama di dalam Inpres tersebut adalah pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan memantapkan situasi keamanan dan ketertiban yang kondusif, serta terlaksananya efektivitas kegiatan pemerintahan.
Beberapa fakta mengenai penguasaan lahan di Sulteng, antara lain:
Pertama, Penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit sedikitnya seluas 168.378 Ha yang dikuasai oleh 7 perusahaan, di antaranya PT Tamaco Graha Krida, PT Astra Agro Lestari, PT Kurnia Luwuk Sejati, dsb.[9] Evergreen Indonesia memprediksikan bahwa luas areal ekspansi kelapa sawit akan bertambah seluas 200.000 hektar karena adanya rencana ekspansi 7 perusahaan yang berupaya diloloskan oleh pemerintah di 4 Kabupaten masing-masing:  Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) dan Kabupaten Banggai.[10]
Kedua, para kepala daerah di Sulawesi Tengah tercatat sudah menerbitkan 365 izin usaha pertambangan (IUP), namun 239 izin belum lolos kualifikasi Clean and Green. Jika 365 IUP ini beroperasi diperkirakan akan memanen keuntungan Rp 1 Trilyun bila semuanya beroperasi.[11] Pernah, dalam kurun waktu 2007-2008 saja, 30 KP dihasilkan oleh Pemkab yang luasnya mencapai 50% dari total keseluruhan wilayah Touna yang hanya 5000 km2.[12] Di Morowali, terdapat lebih dari 100 izin eksplorasi hanya untuk tambang nikel saja.[13]
Kebijakan desentralisasi sangat jelas telah dipergunakan oleh elit-elit lokal untuk; kekuasaan untuk mengobral SDA daerah, korupsi, hingga desentralisasi utang.[14] Yang berarti, adalah kegagalan pemerintah yang tidak mampu lagi membiayai program-program kesejahteraan rakyat (kalau pun ada, dengan porsi anggaran yang minim). Biaya anggaran belanja pejabat selalu jauh lebih tinggi daripada pembiayaan untuk pelayanan-pelayanan sosial. Tidak heran, jika APBD seringkali defisit. APBD Sulteng pernah defisit 59 milyar[15].
Pertumbuhan ekonomi Sulteng pada triwulan IV 2011, mencapai angka 6,33 %. pertumbuhan bersumber dari komponen konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi pemerintah. Kredit konsumsi dan kredit motor merupakan penyumbang terbesar angka pertumbuhan dalam komponen konsumsi rumah tangga.[16] Kredit, atau utang, diperluas menjadi cara hidup masyarakat—lebih banyak lagi nilai yang bisa diambil-alih dari rakyat tanpa melalui proses produksi.
Proses ekspansi kapital di Indonesia mengandung sejumlah konsekuensi, yakni: pertama, konsentrasi kepemilikan atas alat-alat produksi ke tangan segelintir korporasi asing[17]; kedua, pertumbuhan kelas menengah (perantara, agen) yang mendapatkan cecaran dari produksi kapitalis[18]; ketiga, pertumbuhan unit-unit militer yang menyediakan jasa keamanan bagi korporasi[19]; keempat, penghancuran basis produksi (tenaga produktif) mayoritas rakyat yang berkecenderungan depopulatif.[20]
Eksesnya, kemiskinan, pengangguran, pencemaran lingkungan, penggusuran, gizi buruk, kekerasan dan konflik, serta bencana alam.[21]
BPS memang mencatat angka kemiskinan di Sulteng mengalami penurunan, namun standard kemiskinan masih tidak realistis. Pada 2010 sebanyak 474,99 ribu jiwa (18,1 persen), lalu pada tahun 2011 sebanyak 423,63 ribu jiwa (15,8 persen).[22] Konsentrasi kemiskinan sebanyak 88,58% berada di pedesaan. Sembilan dari 11 wilayah kabupaten/kota di Sulawesi tengah masuk kategori daerah tertinggal.[23]
Angka pengangguran juga disebut-sebut mengalami penurunan. Menurut BPS, angka pengangguran di Sulawesi Tengah (Sulteng) hingga Agustus 2011 mencapai 52.681 orang atau 4,01 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 1.313.680 orang. Jumlah ini disebutkan turun 3.131 orang atau 0,26 persen dibanding pada Februari 2011. Namun komposisi pekerja justru memperlihatkan kerentanan. Jumlah penduduk yang bekerja terbanyak sebagai buruh/karyawan sebesar 24,51 persen, diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap/dibayar sebesar 22,82 persen, dan pekerja keluarga sejumlah 22,56 persen.[24]
Dahulu analisa konflik horizontal di Sulteng diletakkan dalam penjelasan, pertama, konflik SARA yang sebenarnya berbasiskan perbedaan kelas; kedua, pengawetan konflik untuk menghancurkan resisten masyarakat dan sebagai alasan pembangunan unit-unit militer.[25] Kini, sejalan dengan perkembangan perluasan modal, konflik persaingan antar kapitalis mengambil arena mobilisasi rakyat.[26]
Peningkatan kasus kekerasan terlihat jelas dalam dinamika perluasan investasi. Yang terbaru adalah kasus Tiaka, Morowali dimana aparat yang menjaga PT Medco menembak dua orang warga Kolo Bawa hingga tewas dalam suatu demonstrasi pada bulan Ramadhan 2011. Kematian warga dinilai oleh negara sebagai kesalahan prosedur sehingga bukan polisi yang diseret ke meja hijau, melainkan warga yang dijadikan tersangka. Padahal sejak tahun 2001, Medco mereklamasi teluk Tiaka hingga membunuh karang tempat hidup ikan tangkapan nelayan Kolo Bawah dan sekitarnya. Sejak rakyat Kolo kehilangan mata pencaharian mereka akibat ulah Medco, dua pasar lokal di daerah itu tutup karena tidak ada lagi ikan tangkapan yang bisa dijual-belikan.
Selain itu, konflik komunal yang merebak karena tingginya akan pengangguran dan cenderung diawetkan meningkatkan pertumbuhan unit militer yang tentunya menguntungkan keamanan investasi. Salah satunya adalah berbagai konflik komunal akut di Kabupaten Sigi yang tidak hanya ditunjukkan oleh bentrokan antar warga Desa Pakuli dan Desa Bangga bulan Oktober lalu, jauh dirunut ke belakang dapat dilihat banyak sekali konflik-konflik serupa yang berkembang sejak dahulu. Sebut saja, bentrokan antara warga Desa Tulo dan warga Desa Kotarindau di Kecamatan Dolo pada Oktober 2011, tawuran antara warga Desa Watunonju dan warga Desa Bora pada Februari 2002, bentrok antar warga di Desa Sidondo pada Maret 2002, dan sebagainya. Buntutnya, aparat polisi akan “mengamankan” dengan senjata atas dalih Prosedur Tetap (Protap) bahkan tidak segan-segan hingga membunuh warga.
Selama ini, pemerintah (pusat dan daerah) menganjurkan jargon-jargon pendamaian bahkan milyaran dana program perdamaian mengucur deras di era reformasi. Namun, ada kah program ril untuk menyelesaikan masalah pengangguran di Kabupaten Sigi Biromaru yang mencapai 5.000 pencari kerja? Tidak hanya itu, tahun 2010 tercatat 40 persen dari 217.874 jiwa atau 86 ribu penduduk Sigi Biromaru hidup di bawah Rp7.000/hari—dinyatakan miskin oleh Badan Pusat Statistik (BPS), karena tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya lapangan pekerjaan. Selanjutnya jangan ditanya bagaimana rakyat miskin ini bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, mereka bisa dipastikan tidak sanggup. Ini lah wajah sebenarnya dari konflik komunal di Sulteng: kemiskinan dan pengangguran!
Dalam cakupan Sulawesi Tengah, Polda Sulteng mencatat terjadi 26 kali bentrokan antar warga di propinsi ini selama tahun 2011 yang menimbulkan korban luka-luka, pembakaran dan kerusakan rumah, bangunan serta fasilitas lainnya. Data konflik yang tidak tercatat tentunya jauh lebih banyak lagi.

Persebaran unit-unit militer strategis di Sulawesi Tengah (Danel Lasimpo, 2010)

Dilihat dari segi politik, model demokrasi perwakilan  melibatkan suara rakyat hanya 5 tahun sekali melalui Pemilihan Umum. Elit-elit politik terlihat bukan mewakili rakyat, tapi mewakili partai-partai politik. Desentralisasi dikerangkeng oleh demokrasi perwakilan di daerah, desentralisasi kekuasaan tidak sampai ke tangan rakyat. Politik floating-mass (massa mengambang) masih digunakan, massa rakyat dimobilisasi hanya pada saat pemilihan. Rakyat tidak memiliki kontrol terhadap lembaga kekuasaan.[27]
Ekses kapitalisme menghasilkan perlawanan dari arus bawah. Hal ini disadari oleh lembaga-lembaga donor internasional sejak lama. Pembiayaan dari lembaga donor mengalir ke negara-negara berkembang di mana terdapat potensi sumber daya untuk dieksploitasi. Hal ini berkesesuaian dengan penghancuran basis produksi rakyat (bahkan kelas menengahnya hanya sebagai distributor) sehingga sumber-sumber pendanaan dari luar menjadi penting dan dibutuhkan, serta; mendapatkan legitimasi dari konsep postmodernisme yang mendapatkan sambutan luas di kalangan intelektual kelas menengah. Situasi ini menjadi cerminan yang menunjang perkembangan gerakan-gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mayoritas tidak memiliki karakter anti pemerintahan dalam format penggulingan rezim.
Jangan dikira rakyat tidak melawan. Luar biasa perlawanan rakyat Sulteng. Pada 2007-2008, perlawanan rakyat di pulau Banggai, pun dalam isu menolak pemindahan Ibu Kota, berhasil merebut kantor-kantor pemerintahan, mengambil-alih barang-barang perkantoran dan mengusir Bupati dan antek pendukungnya keluar pulau Banggai. Bahkan mengalahkan polisi dan tentara, menjatuhkan nyali dan mental aparat. Tidak hanya itu, perlawanan rakyat Buol yang menuntut keadilan korban pembunuhan seorang warga di dalam tahanan berbuah penembakan polisi yang menewaskan enam orang pada dua tahun lalu. Rakyat Buol melawan dan mengusir polisi hingga keluar kabupaten Buol. Saat ini, polisi dinilai tidak berharga di mata rakyat Buol, bahkan warga berani naik kendaraan motor di depan polisi tanpa menggunakan helm. Perlawanan ini tidak berkembang menjadi transformasi masyarakat yang mensejahterahkan rakyat itu sendiri, karena segala kebijakan pemerintah hampir keseluruhan berasal dari pusat: Jakarta. Sementara, gerakan mahasiswa dan rakyat di Jakarta belum berhasil hingga kini merebut kekuasaan; belum berhasil menggulingkan SBY-Budiono.
Berangkat dari situasi ini, jelas terlihat kegagalan rezim SBY-Budiono yang hampir delapan tahun berkuasa di Indonesia. Dari sejak otonomi elit lokal yang didukung oleh rezim SBY-Budiono tahun 2004 silam  yang menunai banyak penderitaan bagi rakyat, hingga kini, SEGERA!, akan lebih banyak lagi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan sebagai selalu produk investasi kapital (modal). Oleh pemerintahan SBY-Budiono, rencana ini telah disusun baik-baik dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Plan ini menempatkan Sulteng sebagai salah satu wilayah tujuan investasi perkebunan sawit, pertambangan nikel dan emas. Semua agenda modal asing di Indonesia berjalan sangat mulus mengingat utang negara indonesia tercatat sudah mencapai Rp 1.700 Trilyun.
Apa yang kita butuhkan adalah perjuangan politik, yakni menggulingkan pemerintahan SBY-Budiono. Jikalau perjuangan penggulingan SBY ini tidak lah bisa disebut sebagai revolusi karena sesungguhnya revolusi menghendaki perubahan struktur ekonomi politik secara fundamental, maka Penggulingan Rezim SBY akan kita pandang dan kita perjuangan sebagai pembuka jalan revolusi rakyat Indonesia.
Kita butuh keberanian untuk berjuang. Jika Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa dan aktivis yang dicintai keluarganya, dicintai kawan-kawannya, dicintai kekasihnya, dan dia juga adalah mahasiswa yang akan segera skripsi itu BERANI membakar dirinya demi “turunkan SBY”, lantas mengapa kita tidak berani aksi atau berdemonstrasi untuk menggulingkan SBY-Budiono yang dimana dalam perjuangan itu, kita belum tentu mati seperti Sondang.

[1] Disusun oleh Sarinah untuk gerakan rakyat dan mahasiswa Sulawesi Tengah, dibacakan oleh Sarinah dan Liswan Rusman dalam kegiatan Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 27-29 Januari 2012.

[2] Tahun 2008, AC Nielsen menyebutkan bisnis ritel mendominasi pangsa pasar sebesar 53 persen. Padahal tahun 2000, pasar tradisional masih mendominasi hingga 65 persen. 13.450 pasar tradisional terancam tutup. (Pasar Tradisional Terancam Mati, 8 Mei 2010, Tersedia dalam: http://www.republika.co.id). Pertumbuhan ritel (10 – 20 % per tahun) sebenarnya merupakan bentuk perkembangan usaha-usaha distribusi (perantara). Dengan kata lain, perluasan pasar dimana penyediaan barang dan (bahkan jasa) diperoleh dari impor. Usaha ini dipandang sebagai pengembangan kewirausahaan yang akan memakmurkan rakyat. Sebenarnya tidak, karena meskipun banyak barang yang beredar, namun tanpa daya beli masyarakat tetap saja hasilnya adalah krisis. Terlebih lagi, bisnis ritel didominasi oleh perusahaan besar seperti Alfamart, Carefour dan Indomaret. Memang, bisnis ritel menciptakan buruh-buruh baru, namun kebijakan outsourching merupakan hambatan terbesar bagi buruh kontrak untuk menuntut hak-haknya.

[3] Beberapa tahun belakangan, terlihat kecenderungan penutupan pabrik-pabrik di Pulau Jawa yang menimpa sektor garmen/tekstil, makanan dan minuman karena kalah bersaing dengan produk yang kebanyakan dari Cina. Tahun 2008, rentang Januari – November, terdapat 50 pabrik yang tutup hanya di wilayah Jakarta Utara (pusat industri tekstil) saja (50 Perusahaan di Jakarta Utara Bangkrut, 18 November 2008, tersedia dalam: http://nasional.kompas.com). Isu penutupan pabrik santer beredar di kawasan industri di Jakarta. Pengalaman penulis yang berinteraksi dengan buruh-buruh pabrik di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park) membenarkan hal ini. Agustus lalu, PT Jagad Karimbanusa yang memproduksi pigura kayu sejak 1989 menyatakan diri pailit. Nasib ratusan buruhnya tidak jelas dan mendirikan tenda di depan pabrik untuk menuntut hak-hak mereka.

[4] Industri yang relatif bertahan adalah industri berbahan logam. Sangat terkait dengan, alat-alat berat sulit untuk diimpor dalam bentuk jadi dan konsumsi kendaraan bermotor yang meningkat karena mudah diperoleh melalui kredit. Solusinya adalah dirakit di dalam negeri, lalu dijual. Faktanya, 92 % teknologi industri masih impor (Industri Masih Gunakan 92 Persen Teknologi Impor, 2009, Tersedia dalam: http://metrotvnews.com). Sektor logam banyak menggunakan buruh tetap. Berbeda dengan sektor non logam yang sebagian besar menggunakan buruh outsourching. Hal ini juga menjelaskan mengapa serikat buruh di sektor logam masih bisa bertahan bahkan menguat di Jakarta dan sekitarnya selama 10 tahun terakhir. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, misalnya, membuktikan kekuatan mereka melalui berhasil menuntut pengesahan RUU BPJS menjadi UU, dan berhasil menolak revisi UUK 13 pada tahun ini. Beberapa revisi itu adalah membolehkan tenaga kerja asing sebagai tenaga lapangan, penghapusan pesangon, masa outsourching tanpa batas dsb.

[5] Pemerintah sendiri mengklaim angka pengangguran cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tingkat pengangguran terbuka (pencari kerja) di Indonesia pada Februari 2011 mencapai 6,8 persen atau 8,12 juta jiwa. Kelihatannya kecil, tetapi sesungguhnya hanya 30 % saja penduduk yang bekerja di sektor formal, sisanya 70 % bekerja di sektor informal. (Pengangguran Turun, Republik Kian Sejahtera, Viva News 15 Mei 2011, Tersedia dalam: www.vivanews.com). Tahun 2008, Kepala Bappenas saat itu, Paskah Suzetta, mengakui bahwa penurunan angka kemiskinan karena terserap ke sektor informal (Sektor Informal Berhasil Menekan Angka Kemiskinan, 4 Juli 2008, www.indonesia.go.id). Gejala ekonomi dimana perkembangan sektor informal jauh melebihi sektor formal bukan merupakan gejala yang baik. Hal ini semakin membuktikan adanya proses deindustrialisasi. Sektor informal juga sangat rentan gulung tikar di tengah persaingan dengan produk-produk impor.

[6] Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia 2012-2025.

[7] Istilah “estate” diambil dari tulisan F. Engels, 1881, Kelas-kelas dalam Masyarakat (Ketika Masih Diperlukan dan Ketika Tidak). Marx mengistilahkannya sebagai “enclosure” (Capital I, 1887, h. 527, softcopy edition, source: First english edition of 1887); lihat juga penjelasan Arianto Sangadji, 2010, 12 Tahun “Enclosure”, Tersedia dalam: www.indoprogress.com).

[8] Sebagai catatan saja, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 7,3 juta ha meningkat dari 3,9 juta ha tahun 1999 dengan pertumbuhan rata-rata 8,7 % per tahun (Laporan Marketing Intellegence, Industri Palm Oil di Indonesia per November, tersedia di: http://www.datacon.co.id). Metro TV, 18 November 2008, melansir terdapat  130 Kontrak Karya pertambangan di Indonesia yang 86,4% yang dikuasai asing.
[9] Asriwati, Konsentrasi Penguasaan Tanah dan Konflik Agraria di Sulawesi Tengah, Problem Mendesak yang Menuntut Penyelesaian, 2009.

[10] EverGreen Indonesia, 2010, Hutan Sulawesi Tengah Dikepung Sawit, tersedia dalam: http://evergreen-indonesia.blogspot.com.

[11] Rp 1 Trilyun itu masih proyeksi, faktanya sumbangan pertambangan ke kas daerah Sulteng hanya Rp 985 juta. (Lihat: Izin Tambang di Sulteng Banyak Bermasalah, Waspada Online, 27 Juli 2011, tersedia dalam: http://waspada.co.id)

[12] Poros, edisi II/23-28 Maret 2009.

[13] Baru lima perusahaan yang beroperasi dengan pemasukan ke kas Pemkab sebesar Rp 5 Milyar. (Lihat: Izin Tambang di Morowali Tumpang Tindih, Bisnis KTI, 18 Januari 2011, tersedia dalam: http://www.bisnis-kti.com).

[14] Sebagai contoh, Parigimoutong yang pernah meminjam uang kepada IFAD sebesar 58 M pada tahun 2006 (Parigata, Juni-Juli 2006).

[15] (Lihat: APBD Sulteng 2010 Defisit Rp59 milyar, Berita daerah online 14 Desember 2009). APBD Parigimoutong  juga pernah defisit 48 milyar yang berakibat pada pembatalan tunjangan PNS 6,5 M dan penggunaan ADD Rp 2,38 M untuk menutupi defisit (Lihat: Parmout Defisit, Salah Siapa?, Mercusuar 12 Januari 2010; Pengalihan ADD: SKPD Bantah Defisit Gaji, Mercusuar 27 Januari 2010). Fenomena defisit APBD yang juga melanda kabupaten lainnya, misalnya Tolitoli defisit Rp 40,3 M, menunjukkan bahwa desentralisasi utang membebani APBD. Salah satu penyebab defisit APBD Parmout adalah karena membayar hutang dari Bank Dunia sebesar Rp28 M. Yang akhirnya untuk menutupi defisit, selain merampok ADD, Pemkab melakukan pinjaman lagi kepada salah satu Bank Pemerintah sebesar Rp16,8 M (gali lubang, tutup lubang). Belum lagi kalau dihitung-hitung dengan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dalam bentuk PNPM, BLT dsb yang menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia yang harus dibayar oleh daerah.

[16] Laporan Triwulan IV Bank Indonesia 2011.

[17] Dengan panen profit yang mengagumkan. Pada 2008, Exxon Mobil meraup keuntungan Rp. 444.7 triliun atau Rp. 1, 2 trilun per hari; Chevron meraup laba Rp. 204, 7 triliyun; Pada 2009 Newmont membukukan laba bersih US$ 642,900 juta; Penghasilan PT Freeport Indonesia  mencapai US$ 2,16 miliar per tahunnya. (diolah dari berbagai sumber)

[18] Kelas menengah berkarakter  agen, perantara, tergantung pada kapitalis asing dan tidak progresif. Karakter ini bahkan meluas juga ke kalangan gerakan sosial dan aktivis-aktivisnya yang banyak menjadi oportunis. Karakter ini berkesesuaian dengan pertumbuhan ekonomi distribusi yang menghasilkan perantara (distributor) barang dan jasa. Tetesan ekonomi dari atas ke bawah (trickle down effect) hanyalah ilusi karena cecaran kemakmuran ekonomi hanya tertampung di kelas menengah, tidak sampai ke bawah.

[19] Militer tidak hanya digunakan sebagai alat kekerasan oleh korporasi, tetapi juga sebagai alat hegemoni untuk memperoleh ketataan spontan rakyat—memberikan kesadaran kepada rakyat tentang kelemahan mereka dan betapa kuatnya militer ataupun negara. (lihat: Nezar Patria dan Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar: Yogyakarta).

[20] Kapitalisme itu sendiri semakin berkecenderungan depopulatif. Logikanya, kemajuan teknologi produksi semakin mengarah pada otomatisasi kerja mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikan alat-alat produksi. Telah dan terus berlangsung proses penciptaan barisan cadangan tenaga kerja: tak kerja,  tidak berdaya beli, dengan kata lain tidak produktif. Masuk akal jika akhir dari semua ini adalah pemusnahan manusia yang mengambil berbagai skenario, seperti konflik, penyakit, kelaparan, dsb. Kasus-kasus kekerasan, seperti penembakan di banyak tempat di Sulteng menunjukkan depopulasi. Konflik direspon dengan program-program perdamaian yang tidak akan pernah selesai jika masih ada ketidakadilan sosial. Kecenderungan depopulatif juga menjelaskan mengapa banyak rakyat Indonesia (terutama perempuan) memilih bekerja sebagai TKI ke luar negeri, pun dengan posisi tawar yang sangat rendah, rentan mendapatkan kekerasan dan menempuh jalur ilegal. LSM Migrant Care menyatakan saat ini jumlah TKI di Arab Saudi ada 1,2 juta orang, Malaysia (2,3 juta), Hong Kong (130 ribu), dan Singapura (80 ribu). (Moratorium TKI, Siapa Merugi, Viva News 24 Juni 2011, tersedia dalam: www.vivanews.com)

[21] Dalam tulisan yang lain, saya sedang merincikan hal ini, termasuk menggambarkan bentuk-bentuk penghancuran basis produksi rakyat. Rencananya akan diterbitkan dalam Majalah Silo edisi 44.

[22] (Jumlah Penduduk Miskin di Sulteng Berkurang, Antara, 18 November 2011) Indikator kemiskinan versi BPS menggunakan indikator konsumsi, sebesar Rp 7.000,-/hari. Jadi, orang dikatakan tidak miskin jika mengkonsumsi lebih dari Rp 7.000,-/hari. Standard ini hanya memperhitungkan konsumsi (yang dianggap cukup bisa makan sehari), tidak memperhitungkan kebutuhan pendidikan, kesehatan, transportasi dan pengembangan diri. Manusia membutuhkan karbohidrat 2.100 kalori, berarti sama dengan 550 gram beras, harus ditambah dengan lauk, sayuran, dan vitamin. Silahkan siapa saja yang ingin menilai apakah Rp 7000, - itu cukup untuk makan sehari.

[23] Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Tengah Triwulan IV 2011, Bank Indonesia.

[24] (Pengangguran di Sulteng Capai 52.681, Waspada Online 18 November 2011, tersedia dalam:  http://www.waspada.co.id).
[25] George Junus Aditjondro, Dinamika Politik Modal di Sulawesi: Apa yang Dapat Dilakukan oleh Para Aktor Prodemokrasi, 2006.

[26] Hasil investigasi penulis sebagai jurnalis yang masih dalam proses penulisan.

[27] Pun jargon-jargon ekonomi kerakyatan digunakan dalam pembangunan, tanpa infrastruktur demokrasi langsung yang memungkinkan kontrol rakyat secara langsung, maka kesejahteraan sosial adalah mustahil. (Lihat: Sarinah. 2009. Kegagalan Program-program Kerakyatan. Tersedia dalam: www.sherr-rinn.blogspot.com).

No comments:

Post a Comment