Thursday, 5 July 2012

Kasus Penghianatan Amandemen Pasal 33 UUD 1945 Terhadap Pertanahan



Pada artikel sebelumnya kita telah membahas tentang penghianatan pasal 33 UUD 1945 yang tercoreng atas nama “Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”. Pada Pembahasan sebelumnya juga telah sempat kita menyinggung tentang Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) sadar ini berdampak salah satunya yakni tentang pertanahan (Agraria).
Pada kasus-kasus yang berkembang di masyarakat seperti sengketa pertanahan adat dalam artikel ini.

Desa Lelilef Sawai dan Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Kalteng) adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Hal itu terbukti dengan masuknya sejumlah perusahaan dari dalam dan luar negeri yang melakukan eksplorasi tambang Nikel. Salah satunya adalah PT Weda Bay Nikel. Persoalannya, sekitar 195 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dua desa tersebut merisaukan rencana perluasan eksplorasi perusahaan tambang yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara Perancis itu.

Perluasan itu akan mengambil alih lahan yang secara turun temurun sudah digunakan warga untuk tinggal dan bercocok tanam. Selain bekerja sebagai nelayan, sebagian warga menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun di tanah yang  disebut sebagai tanah adat itu. Sehingga perluasan yang dilakukan WBN akan berpengaruh signifikan terhadap kehidupan warga.

Pada intinya warga di dua desa itu tidak mempersoalkan perluasan tersebut, tapi dengan syarat warga harus diberi kompensasi yang sesuai. Salah satu warga desa Lelilef Sawai, Yosepus Burnama, mengatakan sudah terdapat tanah warga yang diratakan oleh perusahaan, padahal tanah itu belum dibebaskan. Menurutnya, sudah ada delapan warga yang tanahnya diambil alih perusahaan tanpa ganti rugi.

Yosepus melanjutkan, WBN akan membangun pabrik untuk melakukan pengolahan serta eksplorasi di atas lahan adat milik warga kedua desa itu. Sayangnya, nominal ganti rugi yang ditawarkan harganya terlalu murah, yaitu Rp8 ribu/meter persegi. Pria yang sempat bekerja di WBN itu mengatakan sebagian warga menerima penawaran itu, sebagian lagi menolak dan menuntut ganti rugi dengan nominal Rp50 ribu/meter persegi.

Tuntutan tersebut sudah disuarakan oleh warga di kedua desa itu sejak 2009, namun tidak ditanggapi dengan baik oleh WBN dan pemerintah daerah (Pemda) setempat. Bahkan, kata Yosepus, sejumlah aparat desa terlihat berpihak kepada WBN ketimbang membela warganya. Ditambah lagi Bupati Halteng, Yasin Ali, selalu mengklaim bahwa lahan yang selama ini digunakan warga adalah tanah negara.
“Padahal tanah itu tanah leluhur, tanah nenek moyang kami, tanah adat,” kata Yosepus, Jumat (25/5).
Lantaran Pemda setempat dinilai tidak dapat menuntaskan persoalan, warga mengadu kepada Komnas HAM di Jakarta. Komnas HAM sudah melakukan investigasi secara langsung di kedua desa itu pada 19–21 Juni 2011. Sayangnya, rekomendasi yang diterbitkan Komnas HAM tidak diindahkan oleh pihak yang bersangkutan sehingga penyelesaian persoalan ini berlarut.

Tak menyerah, warga melaporkan permasalahan ini kepada DPD. Pada Kamis (24/5), Komite II DPD menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menindaklanjuti laporan warga. Rapat yang dipimpin Ketua Komite II, Bambang Susilo, dihadiri oleh perwakilan warga, WBN, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bupati Halteng, Al Yasin Ali.

Komite II DPD akhirnya menerbitkan sejumlah kesimpulan yakni mengimbau agar pihak berkepentingan bermusyawarah untuk membahas persoalan ini. Pihak berkepentingan juga diimbau untuk tidak hanya terpaku pada besaran kompensasi, namun lebih kepada perihal yang realistis serta mempertimbangkan solusi lain seperti Community Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD).

Terkait status tanah, Komite II DPD akan melakukan cross check dengan Kementerian Kehutanan dan BPN, serta melakukan pengawasan agar ada kepastian yang jelas terkait lahan yang disengketakan. Selain itu, Komite II DPD  meminta kepada WBN untuk tidak melakukan kegiatan di tanah warga yang belum mempunyai status pembebasan lahan. Kegiatan yang dilakukan WBN diperbolehkan jika sudah terdapat bukti status pengalihan lahan yang jelas. Komite II DPD juga berjanji turun langsung ke lokasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Yosepus berharap pemerintah dan anggota dewan mampu membantu menyelesaikan masalah ini. Bagi Yosepus, berdirinya WBN akan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga, terutama faktor ekonomi. Soalnya, warga yang lahannya diserobot tanpa ganti rugi sudah tidak dapat lagi bercocok tanam. “Lahan saya sendiri yang telah digunakan secara turun-temurun terancam digusur,” keluhnya.

Di kesempatan yang sama, salah satu anggota tim yang mengadvokasi warga dari LBH Projustisia, Ferry J Mainassy, mengatakan upaya penyelesaian ini akan ditempuh dengan cara litigasi dan non litigasi. Namun, upaya yang telah dilakukan sampai saat ini untuk menyelesaikan persoalan baru pada tingkat non litigasi. Bagi Ferry, tidak menutup kemungkinan jika nanti upaya litigasi dilakukan.

Secara hukum, Ferry melihat persoalan pembebasan lahan warga seharusnya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada,  salah satunya adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam ketentuan itu, ia melihat pembebasan lahan yang diperuntukkan bukan untuk kepentingan umum maka mekanisme yang dilalui adalah musyawarah–mufakat, yaitu dilakukan negosiasi antara pihak yang mau menggunakan dengan pemilik lahan.

Sayangnya, Ferry melihat pembebasan lahan yang ditawarkan kepada warga menggunakan mekanisme untuk kepentingan umum. Baginya, hal itu merugikan warga. “Pembebasan lahan itu harusnya dilakukan bukan berdasarkan pendekatan kepentingan umum,” ujarnya.

Ferry melanjutkan, tuntutan ganti rugi sebesar Rp50 ribu/meter persegi sebagaimana keinginan warga bukan tanpa sebab. Pasalnya, harga tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang oleh warga dari berbagai macam aspek. Misalnya, perusahaan akan menggunakan lahan dalam kurun waktu sangat lama, ada tanaman umur panjang milik warga yang digusur dan lainnya.

Bantah Ikut Campur

Sementara itu, Bupati Halteng, Al Yasin Ali, mengatakan kompensasi yang diberikan kepada warga di dua desa yang lahannya akan dibangun pabrik oleh WBN mengacu pada beberapa hal. Pertama, mengacu pada harga yang sudah diterapkan di desa sekitar di mana terdapat perusahaan serupa. Kedua, negosiasi antar kedua belah pihak yaitu WBN dan warga.

Jika mengacu harga sebelumnya dalam soal ganti rugi lahan yang ada di kabupaten lain, Yasin mengatakan nominal kompensasi lahan warga harganya bervariasi mulai dari Rp4–9 ribu/meter persegi. Bahkan, jika lahan itu memiliki sertifikat harganya dapat mencapai Rp15 ribu/meter persegi. Dia juga menegaskan, Pemda tidak campur tangan dalam penentuan harga tersebut.

Bagi Yasin, tugas Pemda hanya sebatas sosialisasi mengenai harga. Misalnya, jika lahan itu digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit dan lainnya, maka nominal kompensasi berkisar diangka Rp2,5 ribu/meter persegi. Jika lahan diperuntukkan di luar kepentingan umum maka harganya lebih tinggi.

Ketika ditanya nilai kompensasi untuk tanah adat/ulayat, Yasin mengatakan di Kabupaten Halteng tidak ada tanah adat/ulayat. Namun, terdapat tanah yang berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang pengelolaannya berada di bawah wewenang Kementerian Kehutanan dan tergolong dalam tanah negara. “Di sana tidak ada tanah adat/ulayat,” kata Yasin ketika dikonfirmasi lewat telepon, Minggu (27/5).

Dia menambahkan, meski lahan warga yang menjadi sengketa termasuk tanah negara, warga sudah mengolah tanah itu secara turun-temurun. Sehingga di atas tanah itu terdapat tanaman berumur panjang seperti kelapa, pisang dan lainnya. Atas dasar itu, ia mengatakan kompensasi yang akan diberikan mengacu pada lahan yang sudah ditanami warga.

Selain itu, negosiasi harga yang dilakukan warga dapat juga mengarah pada kompensasi lainnya, seperti masyarakat mendapat bagian dari setiap bahan baku mentah yang dijual perusahaan. Menurut Yasin dana itu di luar dana CSR yang diberikan perusahaan.

Ketika ditanya soal izin WBN, Yasin mengatakan perusahaan tersebut sudah mengantongi izin. Di atas lahan yang terdapat di dua desa itu, katanya, akan digunakan untuk membangun pabrik dan fasilitas pendukung untuk mengolah bahan baku mentah Nikel. Mengacu pada potensi yang ada di Halteng, perusahaan tersebut akan beroperasi di sana dalam waktu cukup lama. “Lebih dari 50 tahun,” pungkasnya.

Sumber : hukumonline.com

No comments:

Post a Comment